-->

News : Janji Gunung Emas

Janji Gunung Emas

Beberapa hari terakhir ini saya
teringat orang muda bijaksana dari
Kebumen, Romo Jatmiko, putra
tokoh yang bekerja di belakang
layar era revolusi, Romo Yudho. Dia
mengatakan kepada penulis, akan
lebih sempurna jika empat pilar
yang sekarang disosialisasikan
sepenuh hati oleh Taufiq Kiemas
dan teman-teman Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditambah
satu pilar lagi, yaitu bendera Merah
Putih.
Mungkin romo muda itu benar.
Beberapa teman ketika naik taksi di
luar negeri sering kali malu
mengaku orang Indonesia. Mereka
selalu menyebut negara lain
sebagai asal mereka. Entah karena
malu dianggap berasal dari negara
miskin, korup, sepak bolanya kalah
melulu, atau sarang teroris.
Dengan memasukkan bendera
Merah Putih sebagai pilar kelima,
kita berharap siapa pun bangga
sebagai bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut,
penulis berharap pada 2014 akan
lahir pemimpin nasional yang tidak
hanya mahir berjanji gunung emas
(sekadar janji manis), tetapi juga
mempunyai ketegasan
kepemimpinan dan sepenuh hati
memanggul lima pilar kita:
Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, NKRI, dan Merah Putih.
Masyarakat melodramatik
Mencermati beberapa hasil survei
terakhir tampak bahwa nama-
nama yang muncul dan menjadi
pilihan publik untuk Pemilu 2014
secara umum tidak bergeser dari
figur-figur yang selama ini sudah
beredar. Sebagian orang pesimistis
melihat fenomena itu. Saya lebih
suka menempatkan diri di sisi
optimistis. Dengan satu keyakinan,
setiap orang bisa berubah dan
menjadi garuda demi bangsa dan
negara.
Menariknya, nama-nama yang
menjadi pilihan publik untuk
menjadi calon presiden dan wakil
presiden pada pemilu nanti adalah
para tokoh yang selama ini
dipersepsikan mempunyai
ketegasan sikap dan jujur. Untuk
calon presiden, popularitas
direngkuh oleh Prabowo Subianto,
Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf
Kalla. Untuk calon wakil presiden
muncul Jusuf Kalla, Mahfud MD,
Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan
Surya Paloh.
Kecenderungan itu membuktikan,
seperti sudah saya sampaikan
hampir satu dasawarsa lalu,
karakter bangsa ini adalah
melodramatik. Ciri utamanya
adalah mudah kasihan, mudah
bosan, dan mudah lupa. Khusus
karakter mudah bosan, ditandai
dengan gerak bandul preferensi
masyarakat yang selalu ekstrem.
Bosan dengan Bung Karno yang
orator, masyarakat memilih Pak
Harto yang pendiam dan bekerja.
Karena ia bekerja terlalu keras
sehingga menjadi eksektif (otoriter),
rakyat bermimpi tentang pemimpin
yang demokratis. Abdurrahman
Wahid, seorang demokrat sejati,
akhirnya menjadi pilihan. Ketika
Gus Dur dianggap terlalu banyak
bicara, harapan lahirnya pemimpin
yang sedikit bicara menyeruak.
Megawati Soekarnoputri akhirnya
menjadi tumpuan.
Megawati yang hemat bicara jika
tidak menyangkut hal-hal penting
dan mendasar akhirnya
dipersepsikan kurang cerdas.
Padahal, secara rasional, jika tanpa
kecerdasan, mustahil Mega
mampu menjaga soliditas PDI- P
sampai sekarang. Namun, persepsi
publik telanjur menebar. Mimpi
tentang pemimpin yang cerdas tak
bisa dibendung. Susilo Bambang
Yudhoyono akhirnya terpilih
menjadi Presiden. Sekali lagi,
bandul bergerak ekstrem. Publik
kecewa dengan SBY karena meski
pandai, SBY dianggap miskin
ketegasan.
Karakter melodramatik tersebut
boleh dinilai, baik maupun buruk,
tergantung dari paradigma penilai.
Dari sudut baik, karakter itu
menandakan bahwa rakyat tidak
pernah berhenti berharap. Mereka
tidak pernah berputus asa. Jika
pada akhirnya mereka
mendapatkan pemimpin yang tidak
sesuai harapan, mimpi baru
mereka bangun. Ratu Adil mereka
kreasi di alam bawah sadar. Sikap
ini melahirkan spirit ”sabar-subur”.
Siapa yang sabar, di ujung
perjalanan akhirnya akan
mendapatkan limpahan rahmat.
Dari perspektif negatif, karakter
melodramatik dianggap sebagai
sikap tidak konsisten dan lemah.
Rakyat mudah dibohongi oleh
siapa pun yang mampu
memanipulasi mereka dengan
komunikasi politik dan pendekatan
budaya politik yang tepat. Rakyat
mudah dijadikan alat politik oleh
siapa pun yang mahir berjanji
gunung emas dan mempunyai
sumber daya politik memadai.
Kuatnya karakter melodramatik
pada bangsa Indonesia secara
hipotesis disebabkan oleh
rendahnya pendidikan masyarakat.
Selain itu, diduga juga dipengaruhi
sejarah kampung. Dominasi
masyarakat tempo dulu yang hidup
di pedesaan dan menjadi petani
padi sikap hidupnya cenderung
siklis, jam karet, mengikuti
ketidakmenentuan secara relatif
datangnya musim. Tidak
mengherankan jika sikap mereka
cenderung mudah berubah
tergantung siapa yang bisa
”mendonder” alam bawah sadar
mereka dengan janji-janji gunung
emas.
Menyimak figur-figur yang muncul
sebagai calon pemegang kendali
republik, meski tidak sepenuhnya
sesuai harapan karena beberapa
kelemahan yang melekat pada
mereka, saya percaya bahwa
mereka bukanlah ahli janji gunung
emas. Ini era animum fortuna
sequitur (keberuntungan mengikuti
keberanian).
Sumber : Kompas Cetak


Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter