-->

Kian Jarang, gerobak sapi di Yogya digemari untuk rekreasi

[www.ravictory.blogspot.com]  ~ Gerobak yang
ditarik dua ekor sapi saat ini makin
sulit di jumpai. Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) pun hanya
terdapat puluhan gerobak tersisa.

Jumlah itu digabung dengan Jawa
Tengah, maka ada sekitar 950
gerobak
Meski demikian, pemilik gerobak tak
patah arang. Mereka di Yogya
bahkan membentuk perkumpulan
yang diberi nama "Langgeng Sehati"
yang diketuai langsung oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono X.

Salah satu anggotanya adalah Haji
Latif Munir (40) warga Jejeran,
Wonokromo, Kabupaten Bantul, DIY.
Gerobak milinya adalah peninggalan
dari orang tua, Mashud.

Ketika masih jaya, gerobak sapi ini
sebagai alat transportasi yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Kini
gerobak ini tidak lagi sebagai alat
transportasi untuk mengangkut
material bahan bangunan, atau hasil
panenan di sawah karena kalah
dengan truk buatan Jepang.

Uniknya fungsi gerobag sapi sudah
berubah menjadi alat transportasi
yang menekankan pada rekreasi.
Seperti membawa pengantin, anak
yang disunat, hajatan dan
membawa turis untuk keliling desa
wisata.

"Kalau tidak ada order gerobag
nganggur di rumah," kata Munir di
sela-sela mengangkut pengantin di
Kantor Urusan Agama (KUA) Sewon,
Bantul, DIY, Senin (22/4).

Munir yang juga anggota polisi
Polsek Piyungan Bantul ini mengaku
senang merawat gerobak
peninggalan orangtuanya. Ia
meyakini gerobak mempunyai nilai
budaya yang sangat tinggi.

Saat dihitung gerobak, plus dua ekor
sapi, genta enam buah dan asesoris
lain bisa bernilai 80 juta rupiah.
Maklum dua sapi saja sudah
berharga Rp 47 juta.

Moda Rekreasi

Saat gerobak sapi kian jarang, situasi
itu memberi keuntungan tersendiri
bagi anggota polisi berpangkat
Bripka ini. "Setiap pekan, pasti ada
dua atau tiga yang menggunakan
gerobag saya untuk hajatan. Saya
tidak memasang tarif, diberi Rp 100
atau 200 ribu saya tidak protes,"
kata Munir bapak satu putri ini.

Penghasilan yang paling besar ketika
membawa turis keliling desa wisata.
Ia mendapat bayaran Rp 700 ribu.
Meskipun setiap hari menggunakan
sepatu dalam bekerja sebagai polisi,
namun ketika sebagai pilot gerobak--
dijuluki bajingan-- dirinya tidak
mengenakan alas kaki. "Ya biar lebih
lincah dibanding dengan
menggunakan alas kaki. Bajunya pun
hitam dan harus mengenakan iket
blangkon," katanya.

Soal julukan bajingan, Munir tidak
merasa terganggu. Alasannya kata
itu memiliki kepanjangan  banguning
jiwo ngen-ngen pangeran
(bangunnya jiwa selalu ingat kepada
Allah SWT) agar selamat dalam
perjalanan.

"Kalau yang tidak tahu akan marah
dipanggil Bajingan. Tetapi dengan
arti seperti itu kata bajingan itu
sebetulnya maknanya baik," ujarnya.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter