Empat prinsip etos kerja Islami
_Pekerja di Lapangan Minyak Bunyu_
Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup.
Dalam suasana zaman yang semakin sulit,
kaum beriman dituntut mampu survive dan
bangkit membangun peradaban seperti sedia
kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi
ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus
kerja cerdas.
Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali
harus mengkaji pandangan Islam tentang etos
kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah
mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun
kemalasan tidak punya tempat dalam Islam.
Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal
dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah
rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan
bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada
Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut:
17).
Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan.
Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas,
firman Allah di ayat lain tegas menyatakan,
cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja.
“Jika shalat telah ditunaikan, maka
menyebarlah kalian di muka bumi, carilah
karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-
Jumu’ah: 10).
Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya
siang terang agar manusia mencari rezeki dari
Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera
berlayar di lautan agar manusia mencari
karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam
dan siang agar manusia beristirahat pada
waktu malam dan bekerja pada waktu siang
(Qs Al-Qashash: 73).
Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah
hanya akan diperoleh dengan etos kerja
tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos
kerja sebagaimana perintah Allah di atas?
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul
Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang
diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus
dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap
Allah dengan wajah berseri bak bulan
purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-
dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan
sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari
halal adalah haram, yang dalam terminologi
fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan
‘haram lidzatihi’.
Analoginya, menjadi anggota DPR adalah
halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan
mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya
jelas menjadi haram. Jabatan yang semula
halal menjadi haram karena ada faktor
penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda
dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia
tetap haram. Keharamannya bukan karena
faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu
memang ‘haram lidzatihi’.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak
menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan
an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang
menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah
pernah menegur seorang sahabat yang muda
dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis.
Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang
yang mau membawa tali atau kapak
kemudian mengambil kayu bakar dan
memikulnya di atas punggung lebih baik dari
orang yang mengemis kepada orang kaya,
diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal
adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu
jika masih ada orang yang merendahkan jenis
pekerjaan tertentu karena dipandang remeh
dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru
lebih mulia dan terhormat di mata Allah
ketimbang meminta-minta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan
keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi
kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain.
Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya
termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang
cukup populer, “Tidaklah seseorang
memperoleh hasil terbaik melebihi yang
dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu
yang dinafkahkan seseorang kepada diri,
keluarga, anak, dan pembantunya kecuali
dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat
dan membanting tulang demi keluarga akan
dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat
tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah
bertanya soal tangan Muadz yang kasar.
Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari
dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah
memuji tangan Muadz seraya bersabda,
“Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya”.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban
hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi).
Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras
untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi
Islam melarang kaum beriman bersikap egois.
Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan
mengecam keras sikap tutup mata dan telinga
dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah
telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-
Hadid: 7).
Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang
yang rajin beribadah tetapi mengabaikan
nasib kaum miskin dan yatim sebagai
pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3).
Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan
harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap
harta yang Allah titipkan kepada manusia,
selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan
pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari
jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di
atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari
kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan
pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil).
Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan
kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu
surga.
Post a Comment
Post a Comment
This Blog is DOFOLLOW, Well Please Comment and are not included in spam Thank You..
Cheers,
Admin