Di Bali, jenazah yang meninggal tidak dikubur melainkan dibakar dalam acara upacara Ngaben. Ternyata, tidak hanya ngaben, ada juga cara penguburan berbeda di Trunyan, Bali. Seperti apa?
Trunyan, sebuah nama desa yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat Bali, familiar di Indonesia bahkan mancanegara. Trunyan, dikenal di seluruh penjuru dunia karena keunikan budayanya, terutama cara masyarakat Trunyan memperlakukan jasad warganya yang telah meninggal dunia.
Banyak yang penasaran ingin melihat langsung mayat-mayat yang hanya diletakkan di atas tanah dan konon katanya tidak berbau. Saya termasuk salah satu orang yang penasaran tersebut. Simak perjalanan saya dan dua orang kawan berikut saat menjelajah Trunyan.
Ketika menerima kabar bahwa seorang teman bernama Jessica Permatasari akan berkunjung ke Bali, saya langsung membatalkan rencana pulang kampung ke Singaraja.Ia mengajak saya untuk mengunjungi Trunyan, saya langsung setuju untuk "diculik". Setelah berkirim pesan singkat mengenai teknis pertemuan, akhirnya pada tanggal 24 November 2012 pukul 20.00 WITA saya bertemu Jessica di sebuah kawasan rumah makan di daerah Renon.
Ternyata Jessica tidak sendiri, dia bersama tiga orang lain yang diperkenalkan sebagai temannya. Sebagai informasi, ini kali pertama saya bertemu dengan Jessica secara langsung. Sebelumnya kami berkomunikasi lewat sebuah grup alumni penerima beasiswa VDMS di Facebook.
Setelah mengobrol berbagai macam topik, kami memutuskan untuk berangkat. Rencana awal kami, malam itu akan menginap di kawasan Ubud, tetapi segera saja ada perubahan rencana. Kami memutuskan untuk menginap di Kintamani dengan alasan agar bisa tiba lebih pagi di Trunyan dan tidak terlalu terburu-buru nantinya.
Tepat pukul 23.00 WITA, saya, Jessica dan Hadi (dua orang teman tidak ikut karena sesuatu dan lain hal) segera menembus perlahan kemacetan di Jl. Tantular menuju Kintamani lewat jalur Ubud. Perjalanan menuju Kintamani memakan waktu selama satu setengah jam.
Mata dan badan yang sudah lelah mengisyaratkan kami agar segera beristirahat. Kami mulai mencari-cari hotel yang masih buka di jam larut seperti itu. Beruntung, kami menemukan satu penginapan yang masih menerima tamu di tengah malam buta.
Penginapan tersebut bernama Puri Bening berlokasi di Kawasan Toya Bungkah. Harga hotel sangat mahal yaitu Rp 450.000 per kamar per malam. Kami lelah mencoba bernegosiasi dengan petugas sekuriti, yang malam itu tampaknya merangkap menjadi resepsionis, agar diberi keringanan biaya. Sebenarnya Hadi berpikir kalaupun tidak diizinkan menawar, tidak jadi soal karena kami sangat butuh tidur yang bermutu.
Lagi-lagi kami beruntung, si bapak satpam sekaligus resepsionis memberi kami harga Rp 350.000 termasuk sarapan. Tanpa banyak perhitungan sebelum Pak Satpam berubah pikiran, kami ambil satu kamar.
Saat melihat kamar di lantai 3, yang menurut Pak Satpam punya view paling bagus, kami agak pesimis dengan kondisi kamar. Ukuran kamar bisa dibilang sangat besar. Terdapat dua double bed karena biasanya kamar ini ditujukan untuk 4 orang tamu. Ada satu kamar mandi yang luas dengan bathtub yang sepertinya muat untuk 3 orang, dilengkapi dengan shower hot and cold (saya tidak tahu apakah hot shower berfungsi atau tidak).
Ada juga sebuah lemari, sebuah televisi tabung, dan sebuah dispenser air yang kami ragukan kelayakan airnya. Kamar ini tidak dilengkapi dengan AC berhubung udara di sini sudah dingin (Meskipun tidak terlalu dingin pada saat kami di sana). Segalanya tampak tua dan sepertinya sangat jarang ditempati. Bahkan Hadi sempat terbatuk-batuk sesaat setelah dia telentang di tempat tidur dan batuknya tidak henti-henti sampai dia harus meminum banyak air putih.
Bukti cukup kuat untuk menyimpulkan tempat ini berdebu. Awalnya kami berniat tidur segera setelah menemukan pulau kapuk, tetapi rencana tinggallah rencana karena kami keasyikan mengobrol hingga pukul 03.00 WITA.
Terbangun keesokan harinya pada pukul 08.00 WITA, kami terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidur. Saya menyatakan sindrom malas mandi melanda. Kami kembali bertukar cerita, bahkan Hadi sempat melanjutkan tidurnya. Saya sempat melihat ke luar kamar untuk membuktikan view cantik yang diandalkan Pak Satpam sebagai kelebihan kamar di lantai 3 ini.
Pak satpam tidak berlebihan. Di depan saya terhampar perbukitan dan Danau Batur dengan airnya yang berkilauan. Saya memotret pemandangan indah tersebut dan dengan sok tahunya mengatakan pada Jessica itu adalah Gunung Batur. Harap maklum, baru bangun dan tanpa kacamata, jadi tidak tahu bahwa ternyata pemandangan tersebut adalah bukit dan danau.
Pukul 09.30 WITA kami akhirnya mendapatkan keinginan untuk mandi. Setelah mandi secara bergiliran, kami menikmati nasi goreng ala kadarnya sebagai sarapan di balkon depan kamar sambil sekaligus menikmati pemandangan bukit dan danau. Perut sudah diisi, kami pun check out dari penginapan dan langsung meluncur menuju Trunyan.
Perjalanan dengan mobil menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit. Kami tiba di lokasi penyeberangan Kintamani-Trunyan pukul 11.00 WITA. Setelah bertanya ongkos menyeberang kepada petugas di loket penyeberangan, kami agak menimbang-nimbang lagi. Untuk 3 orang penumpang boat, kami diharuskan membayar Rp 135.000 per orang. Sangat mahal hanya untuk sebuah perjalanan selama 30 menit pergi-pulang.
Atas saran petugas, kami diminta menunggu pelancong lain yang ingin menyeberang ke Trunyan agar bisa berbagi boat sehingga ongkos jadi murah. Kami menunggu cukup lama sampai akhirnya kami bertemu dengan dua orang turis asing dari Korea (Jasmin) dan Laos (Alanh). Mereka adalah mahasiswa pertukaran di Universitas Udayana, jurusan Sastra Indonesia.
Kami menawarkan kepada mereka untuk bergabung dengan kami. Mereka setuju dan akhirnya per orang kami membayar Rp 87.000. Sebenarnya masih mahal, tetapi jika dibandingkan harga per orang di paket 3 orang, kami lebih baik ambil harga untuk paket 5 orang ini. Kami melunasi pembayaran dan segera setelah itu menaiki boat.
Perjalanan ke Trunyan di atas boat yang super ngebut sangat menyenangkan. Pemandangan megah Gunung Batur di kiri dan perbukitan di kanan menjadi tontonan yang memanjakan mata. 15 Menit kemudian kami berlabuh. Kami disambut petugas yang meminta kami untuk menulis nama serta alamat di buku tamu dan memberikan sumbangan sesukanya dan serelanya.
Berlima kami memberikan total Rp 70.000. Ya, cukup mahal, tetapi setelah melihat daftar sumbangan pengunjung terdahulu yang jauh lebih tinggi, jumlah sumbangan kami termasuk kecil. Setelah proses administrasi itu, kami langsung bisa memasuki area Kuburan Trunyan.
Hawa mistis langsung menyambut kami begitu kami menginjakkan kaki di anak tangga kuburan. Empat buah tengkorak di sisi kanan dan kiri gapura kuburan seakan mengucapkan selamat datang. Ternyata ada beberapa jasad yang sudah menjadi tulang-belulang yang belum dipindahkan dari liangnya. Sebagian masih tampak baru walaupun sudah tidak berdaging.
Ada juga sederet tengkorak kepala yang diatur rapi di atas undakan. Lalu di sanalah dia berdiri, sang pohon menyan yang diagungkan karena konon membuat mayat-mayat yang diletakkan di kuburan tersebut tidak berbau. Informasi saja, pada saat kami memasuki kawasan kuburan, memang tidak ada bau mayat.
Namun, sesaat tercium juga bau busuk bangkai. Hipotesis saya, tiupan angin yang menghinggapkan bau itu di hidung kami karena bau tersebut tidak lama, hanya sekilas saja dan selanjutnya tidak tercium lagi. Puas berfoto-foto, kami keluar dari kawasan kuburan.
Rasa penasaran membawa kami ke Bapak Ketut Susiman, seorang warga Trunyan yang pada saat tersebut sedang bertugas jaga di administrasi. Kepada beliau kami bertanya-tanya mengenai Kuburan Trunyan. Berikut informasi yang kami dapat dari interview singkat dengan Bapak Ketut Susiman.
Desa Trunyan sesungguhnya bernama Desa Taru Menyan. Namun seiring dengan perkembangannya, Taru Menyan yang secara etimologi bisa diartikan kayu atay pohon menyan, menjadi trunyan. Menurut Bapak Ketut Susiman, mungkin perubahan itu terjadi karena pengucapan Taru Menyan dengan tempo cepat.
Kuburan Trunyan yang unik, yaitu tidak dikuburkannya mayat ke dalam liang kubur, melainkan hanya diletakkan di atas tanah yang sudah digali sedalam 10 cm. Berawal dari kisah sebuah pohon menyan. Konon katanya, dahulu kala pohon menyan tersebut mengeluarkan wangi yang luar biasa yang bisa tercium di seluruh wilayah Bali. Bahkan wangi ini sampai ke luar Bali hingga masyarakat Desa Trunyan pun tidak kuat akan wangi pohon tersebut.
Sang raja akhirnya memutuskan dan memerintahkan rakyatnya untuk meletakkan mayat warga yang meninggal tanpa luka dan sudah berkeluarga di bawah pohon tersebut. Hal ini bertujuan untuk menetralisir wangi yang dikeluarkan oleh pohon menyan tersebut. Ternyata usaha sang raja berhasil dan semenjak itulah (hingga kini) setiap warga yang meninggal tanpa luka dan sudah berkeluarga diletakkan di bawah pohon menyan.
Alasan dipilihnya warga yang sudah berkeluarga dan meninggal tanpa luka masih merupakan misteri. Maksimal jasad yang boleh diletakkan di bawah pohon menyan tersebut adalah 11. Lebih dari itu, dipastikan akan muncul bau yang tidak sedap. Jika ada warga yang meninggal pada saat tempat di bawah pohon menyan tersebut telah penuh, maka jasad yang dikuburkan paling awal akan dipindahkan.
Tengkorak kepalanya akan diletakkan di undakan-undakan yang ada di sana. Proses pembusukan jenazah sendiri bergantung pada musim. Jika musim kemarau, saat volume air kurang dan tanah menjadi kering, pembusukan bisa mencapai 6 bulan lamanya, bahkan lebih. Namun, pada saat musim hujan, saat volume air tinggi karena curah hujan juga tinggi, pembusukan bisa hanya memakan waktu 1 bulan saja.
Lalu bagaimana dengan jasad warga yang memiliki luka atau belum berkeluarga dikuburkan? Ternyata, Desa Trunyan memiliki 3 jenis kuburan yang berlokasi di tempat yang berbeda. Pertama adalah kuburan dengan pohon menyan yang kini menjadi obyek wisata tersebut. Kedua adalah kuburan bayi yang berlokasi di pusat Desa Trunyan.
Jangan membayangkan yang dikuburkan di sini hanya bayi saja mengingat namanya "kuburan bayi". Selain bayi yang baru lahir, warga yang belum pernah menikah dan anak-anak yang belum ketus gigi (belum kehilangan gigi susu) juga dikuburkan di sini. Mayat bayi akan disemayamkan di gua-gua tebing yang terbentuk alami. Sementara mayat orang dewasa akan dikuburkan seperti biasa di dalam liang.
Kuburan ketiga adalah kuburan yang diperuntukkan bagi jasad warga yang meninggal secara tidak wajar atau salah pati seperti kecelakaan, bunuh diri, dan jasad-jasad yang memiliki luka. Jasad-jasad ini akan dikubur selayaknya penguburan mayat seperti di daerah-daerah lain. Kuburan ini terletak di perbatasan Desa Trunyan dan Desa Abang.
Masyarakat Desa Trunyan juga mengenal upacara Ngaben seperti daerah-daerah lain di Bali. Uniknya, jika di daerah lain di Bali mayat seseorang yang meninggal atau tulang-belulang akan dikremasi, Desa Trunyan tidak mengenal pembakaran mayat.
Pada saat upacara Ngaben, jasad atau tulang-belulang digantikan dengan kayu cendana yang ditulisi nama almarhum atau mendiang dan kayu-kayu cendana itulah yang dibakar. Mengapa bukan tulang-belulangnya saja yang dibakar? Menurut Bapak Ketut Susiman, tulang-belulang tersebut sudah susah dikenali dulunya siapa dan seiring waktu tulang tersebut hancur karena dibiarkan tergeletak di kuburan.
Berhubung kuburan Trunyan ini hanya bisa ditempuh lewat jalur air, maka prosesi pengusungan jenazah harus dilakukan dengan perahu dayung. Para pelayat boleh menggunakan boat. Tetapi lebih unik lagi para perempuan Desa Trunyan tidak diizinkan untuk memasuki area kuburan Trunyan.
"Tanya saja perempuan-perempuan di sini seperti apa kuburan Trunyan, pasti mereka bilang tidak tahu," jelas Bapak Ketut Susiman.
Sejak dulu saya membayangkan kuburan Trunyan ini dipenuhi dengan pohon menyan yang menyerupai hutan pinus. Namun, ternyata hanya ada satu pohon menyan raksasa yang menjulang tinggi. Saya mencium ranting-ranting pohonnya untuk membuktikan ada wangi yang menyeruak keluar dari pohon tersebut.
Saya kecewa karena pohon tersebut tidak wangi, pun setelah saya melukai rantingnya. Informasi yang kami dapat dari Bapak Ketut Susiman, pemerintah telah mencoba mengembangbiakkan pohon ini dengan berbagai cara seperti stek, cangkok, atau mencari biji buahnya untuk ditanam. Hasilnya nihil karena dipastikan batang yang mereka stek atau cangkok membusuk dan buah pohon menyan ini tidak memiliki biji. Murni kuasa Tuhan yang ikut campur di sini.
Apa lagi keunikan Desa Trunyan ini selain kuburan dan pohon menyannya yang mistis lagi eksotis? Tentu pada tradisinya yang lain. Di sini ada sebuah kesenian berupa tari yang bernama tarian Barong Brutuk. Dahulu nama tari ini adalah tari Ratu Brutuk, namun lagi-lagi karena proses global nama tersebut berubah.
Barong Brutuk wajib ditarikan oleh pemuda lajang, yang dalam istilah Bapak Ketut Susiman disebut "Pemuda yang belum mengenal perempuan". Kami pun mengartikan "Anak muda yang belum pernah berpacaran". Jadi, mungkin dicari anak-anak usia sekolah dasar.
Kostum penari Barong Brutuk ini adalah keraras atau daun pisang kering. Tari ini ditarikan di Pura Panca Ring Jagat pada saat pura tersebut Odalan (berulang tahun) tepat di hari Purnama Kapat dalam kalender Bali.
Selain kesenian Barong Brutuk, perayaan Hari Raya Nyepi di Desa Trunyan juga berbeda dengan daerah-daerah lain di Bali. Sewajarnya, pada saat Hari Raya Nyepi, semua kegiatan rutin tidak dilakukan sehingga benar-benar sepi. Namun, warga Desa Trunyan mengadakan upacara persembahyangan tepat di Hari Raya Nyepi untuk leluhur-leluhur atau anggota keluarga mereka yang telah meninggal dunia. Upacara persembahyangan ini dilakukan di Pura Mrajapati.
Alanh dan Jasmin yang tiba-tiba mengeluh lapar mengingatkan kami akan waktu. Benar saja, sudah satu setengah jam kami di sini dan perut mulai lapar. Kami pun pamit pada para petugas di sana sekaligus Bapak Ketut Susiman. Sebenarnya kami masih penasaran ingin melihat dua kuburan yang ada di Desa Trunyan, namun kata nakhoda boat kami, dia tidak bisa mengantar kami ke sana.
Alhasil, kami hanya berhenti sebentar di tengah danau untuk mengamati pemukiman Desa Trunyan dari jarak yang cukup jauh. Sayang sekali. 15 menit kami tempuh untuk kembali pulang. Setibanya di lokasi penyeberangan, kami memutuskan untuk mengisi perut di Resto Apung Kintamani. Menghabiskan Rp 200.000 untuk berlima, kami sudah cukup puas dengan makan ikan bakar setengah kilo, sop kepala ikan setengah kilo, satu porsi sayur cah bayam, satu porsi plecing kangkung, dan minuman sesuai pesanan masing-masing.
Di sinilah perpisahan kami dengan dua orang kawan baru: Alanh dan Jasmin. Mereka mengendarai motor kembali ke Nusa Dua sementara kami dengan mobil kembali ke Denpasar. Perjalanan dan penjelajahan yang manis dan ingin kami ulangi lagi suatu hari nanti.
Post a Comment
Post a Comment
This Blog is DOFOLLOW, Well Please Comment and are not included in spam Thank You..
Cheers,
Admin