-->

Penyakit Misterius Pada Anak Bisa Diungkap dengan Tes DNA

Debra Sukin tak mau ambil risiko dengan kehamilan keduanya. Anak pertamanya, Jacob menderita gangguan genetik serius bernama sindrom Angelman yang mengakibatkan bocah laki-laki ini tak dapat berbicara ketika menginjak usia satu tahun dan mengalami pertumbuhan fisik yang sangat lambat.

Beruntung Debra dan suaminya mengetahui sebuah metode tes baru yang memanfaatkan DNA untuk mengetahui apa yang terjadi pada anaknya.

Dari tes itulah diketahui bahwa calon bayi kedua Debra tak menunjukkan gejala sindrom yang sama dengan Jacob. Namun berbulan-bulan kemudian, Eli, putra kedua Debra, tidak kunjung bisa merangkak, berjalan atau berceloteh layaknya bayi-bayi seumurannya. Hal ini berarti ada gangguan lain yang menyerang Eli (sekarang 8 tahun) dan itu berbeda dari apa yang dialami Jacob.

Keluarga Sukin dari The Woodlands, Texas ini adalah pelopor pengguna metode tes yang terbukti dapat membantu mendiagnosis penyakit neurologis misterius pada anak-anak secara akurat ini. Dalam tes ini ilmuwan mengurutkan seluruh gen pasien secara sistematis untuk mencari adanya mutasi gen yang menyebabkan penyakit genetis tersebut.

Beberapa tahun lalu, prosedur yang disebut dengan pengurutan gen (gene sequencing) ini sangat sulit dilakukan dan terbilang mahal sehingga hanya dapat diperoleh partisipan riset-riset tertentu. Namun belakangan harganya mulai turun, dari puluhan ribu dolar menjadi sekitar 7.000-9.000 dollar AS atau sekitar Rp 67,6 juta - 86,9 juta per keluarga. Beberapa lembaga yang menyediakan layanan tes ini antara lain Baylor College of Medicine dan National Institutes of Health, dengan biaya yang ditanggung oleh asuransi.

Permintaan tes pun meningkat tajam. Ketika program ini baru diperkenalkan pada bulan November 2011, para ilmuwan di Baylor hanya menganalisis 5-10 kasus dalam satu bulan. Tapi sekarang mereka harus menganalisis 130 kasus setiap bulannya.

Begitu pula dengan National Institutes of Health yang diklaim mampu menangani sekitar 300 kasus pertahun. Bahkan saking tingginya permintaan terhadap tes ini, diprediksi jumlah kasus yang harus didiagnosis akan meningkat menjadi 800-900 kasus pertahunnya.

Tes DNA inipun dianggap mengubah hidup pasien dan keluarganya yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari jawaban atas penyakit 'langka' yang mereka alami.

"Kebanyakan orang berpikir tes ini adalah upaya terakhir yang bisa mereka lakukan tapi kini kita dapat menganggapnya sebagai tes lini pertama," kata Dr. Wendy K. Chung, profesor kedokteran anak dan kedokteran umum dari Columbia University.

Selain itu para pakar genetika berpendapat meski tak ada obatnya, tapi diagnosis itu pasti ada manfaatnya. Hal itu dapat memberi kepastian tentang apa yang terjadi pada pasien dan keluarganya, bahkan hingga ke prognosisnya. Tak hanya itu, prosedur ini juga dapat mempermudah proses klaim medis hingga mengetahui risiko penyakit yang sama pada anggota keluarga lainnya seperti pada adik-kakak atau orang tua-anak.

Kendati begitu, para pakar memperingatkan bahwa gene sequencing bukanlah obat yang mujarab. Prosedur ini hanya dapat membantu menemukan kelainan genetik yang terjadi pada seseorang, keberhasilan diagnosisnya pun hanya terjadi pada 25-30 persen kasus.

Sedangkan untuk 3 persen pasien lainnya, tes ini dapat membantunya memanajemen penyakit yang dideritanya secara lebih baik dan berkat tes yang sama, 1 persen pasien dapat memperoleh pengobatan yang tepat.

"Tapi sayangnya banyak orang yang datang kepada kami dengan begitu banyak harapan. Mereka mengira, 'Anda akan mengambil DNA saya dan menemukan penyebabnya lalu memberi saya pengobatan yang tepat'. Padahal yang bisa kami lakukan adalah mencoba untuk menjawab ekspektasi pasien serealistis mungkin," ungkap Dr. William A. Gahl yang memimpin program gene sequencing di NIH seperti dilansir dari nbcnews, Selasa (19/2/2013).

DNA sequencing sebenarnya belum tersedia ketika Debra dan suaminya, Steven Sukin mulai mencari tahu apa yang terjadi dengan Eli. Ketika Eli berusia tiga tahun, pasangan ini sempat mencoba analisis microarray, sebuah tes genetik yang sensitivitasnya hampir mendekati DNA sequencing namun tes ini tak mendeteksi masalah apapun pada tubuh Eli.

"Saya dan suami saling berpandangan dan berkata, 'Berita baiknya adalah segalanya tampak baik-baik saja tapi berita buruknya sebenarnya ada yang salah dengan ini," kata Debra.

Kemudian pada bulan November 2011, saat Eli berusia 6 tahun, Debra pun berkonsultasi dengan Dr. Arthur L. Beaudet, seorang pakar genetika medis dari Baylor. Waktu itu Debra bertanya pada Dr. Beaudet, "Apakah ada protein yang hilang? Atau apakah ada sesuatu yang bersifat biokimia yang mungkin kita lewatkan?"

Setelah menjalani gene sequencing, akhirnya diketahui penyebab gangguan langka pada Eli adalah sebuah gen yang disebut dengan CASK. Saking langkanya, kasus penyakit ini hanya berjumlah kurang dari 10 di seluruh penjuru dunia.

"Setelah itu kami bisa merencanakan metode perawatan yang tepat untuk seumur hidup Eli. Apa yang dialaminya bukanlah sejenis disleksia. Putra saya perlu seseorang yang mau terus menggandeng tangannya tapi dia akan terus berlari meski tak bisa bicara," tambahnya.

Secara umum pasien penyakit misterius memiliki gangguan neurologis dan biasanya kondisi ini terjadi pada bayi atau anak-anak.

Alasannya, banyak pasien penyakit tersebut yang takkan menginjak usia dewasa atau meninggal di usia yang sangat muda, sekitar 20-an tahun. "Jika secara acak kita menentukan penyebab penyakit ini, setidaknya kita harus tahu bahwa fungsi tubuh yang paling sensitif terhadap hal-hal seperti ini adalah fungsi otak," timpal Dr. Beaudet.

Bisa jadi itu juga merupakan salah satu alasan mengapa obat untuk penyakit semacam ini sangat jarang ditemukan, meskipun kecacatan gennya telah diketahui.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter